“Manusia
adalah makhluk ter-ego yang pernah aku temui! Dan memang sudah tertanam ego
dalam jiwa manusia sejak mereka keluar dari rahim ibu mereka. Ego mereka pun
mulai menggerogoti jiwa-jiwa mereka yang mulai busuk! Sehingga jiwa mereka
hanya ada ego yang berkuasa.
Maka
dari itu temanku, larilah ke dalam keegoisan dan kesendirianmu. Karna kulihat
kau dipekakan oleh suara bising dari orang-orang kecil dan disengat disana-sini
oleh orang-orang besar. Ah, biarkanlah para lalat-lalat beracun itu, biarkan
mereka mencari jiwa-jiwa manusia yang masih segar.
Dan saat
itu kau tidak akan merasakan sengatan mereka yang menyakitkan. Lalat-lalat
beracun itu akan lari menjauhimu. Kau akan tertidur pulas dalam kesendirianmu,
dan ketika kau terbangun kau akan dengan angkuh mencemooh mereka yang masih
mempunyai jiwa yang segar.
Apa kau
melihat buah apel yang sedang aku injak-injak ini? Ketika mereka tumbuh tinggi
di pucuk pohon, tidak akan ada yang berani mengambil nya. Tetapi ketika apel
ini terjatuh, hancurlah berkeping buahnya.
Sesungguhnya,
ego yang cerdik ini, yang tidak memiliki cinta, yang mencari keuntungan
diantara yang banyak – dia bukan asal muasal dari kebahagiaan tapi justru
penyebab keruntuhan.
Tetapi
temanku, jika kau tetap ingin merasakan jiwa yang segar di dalam dirimu maka
menjauhlah! Dan rasakan sengatan dari lalat-lalat beracun! Karna harus ada
harga yang di bayar. Darahlah yang dengan lugunya mereka inginkan dari engkau .
Darahlah yang diinginkan oleh jiwa-jiwa mereka yang tersesat – dan karenanya
mereka menyengat, dengan segala keluguan.
Mereka
berdengung di sekitarmu dengan pujian: pujian mereka mendesak sebab mereka
ingin dekat dengan kulit dan darahmu. Sebelum engkau dapat sembuh,
belatung-belatung beracun yang sama sudah kembali merayap di tanganmu.
Dan di
saat kau sekarat pun, jiwa-jiwa busuk mulai memaki dirimu, mulai meludahi
mukamu, mulai menginjak-injak ragamu –di saat itulah tersingkap jiwa mereka
yang sudah dikuasai oleh ego yang mereka sembah.
Apa kau
melihat peti apel yang aku injak-injak ini? Sangat hina peti yang aku injak
ini! Sangat rapuh peti yang aku injak ini! – Tetapi peti ini dengan sombongnya
menampung puluhan buah apel agar tidak menghilang jauh.
Sesungguhnya
wahai saudaraku, rasa kesakitanmu ini bukanlah penyebab keruntuhan, akan tetapi
asal muasal dari kebahagian.”
Setelah
si orang gila selesai meneriakan wejangannya kepada kerumunan orang di pasar. Salah
satu dari orang-orang itu berteriak padanya: “apa yang sebenarnya kau katakan
orang gila! Bukankah kau juga manusia!? Dan untuk apa kita harus mendengarkan perkataanmu!”
Si
orang gila tiba-tiba terkaget lalu di sambung dengan tawa yang terbahak-bahak.
Dia pun berkata: “apa kau sudah gila!? Bukankah orang gila jiwa nya sudah
rusak? Karna akalnya pun tidak sama dengan para orang waras! Maka dari itu
mereka selalu mempunyai pikiran yang berbeda disbanding orang-orang waras.”
Si
orang gila langsung melompat ke arah kerumunan itu lalu mulai berlari mengitari
mereka sambil meneriakan “sembahlah ego kalian wahai manusia!” berulang-ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar